Dari : Situs Alfi *

Senin, 27 Januari 2014

CERPEN

PENANTIAN DI ATAS PUSARA

            Angga merupakan lelaki pendiam yang bisa dikatakan baru menginjak usia dewasa dan meninggalkan masa-masa remaja bersama teman-teman sebayanya. Sejak ayahnya meninggal karena kecelakaan mobil Angga lebih sering menghabiskan waktu  bersama ganknya sekedar nongkrong di kafe atau menonton balapan liar. Ketika ayahnya masih hidup, ia sering menghabiskan waktu di rumah bersama ayahnya. Mungkin Angga merasa sangat kehilangan sosok ayah yang selama ini selalu ada bersamanya, dan kini Angga sering mengabaikan ibunya. Untuk dulu, mungkin Angga bisa dikatakan ‘manja’. Sangatlah berbeda dengan sekarang yang tak lagi mempedulikan ibunya bahkan lebih memilih foya-foya menghabiskan uangnya untuk taruhan balapan mobil liar. Mungkin dia juga merasa, dengan keluarganya yang memiliki banyak uang bisa membuatnya bangun dari keterpurukan dan mengembalikan keadaan hidupnya tanpa sosok ayah yang sangatlah dekat dengannya. 

            Ibu mana yang membiarkan anaknya melakukan sesuatu semaunya sendiri tanpa ada pemikiran panjang. Tentu jarang orang tua yang seperti itu. Begitu pun ibunya Angga, ‘Ibu Mega’ biasa ia disapa oleh tetangga-tetangganya. Ibu Mega masih berusia 55 tahun. Ibu Mega sangatlah mengerti tentang sosok Angga yang dulu, yang sangatlah berbeda dengan saat-saat sekarang. Ibu Mega pun mengerti tentang perasaan Angga yang dulu pendiam, memendam semua masalahnya sendiri, kini harus lebih menahan emosi dan melampiaskan emosinya dengan berfoya-foya. Ia hanya bisa menasehati anaknya yang tidak lagi banyak bicara ketika di dalam rumah, tetapi tak banyak perubahan yang terjadi pada diri Angga. Hingga suatu ketika Angga mengajak teman-teman satu gank-nya main dan menginap ke rumah mewahnya. Tanpa disangka-sangka Angga menjadikan ibunya sebagai pembantu selama teman-temannya di rumahnya. itulah saat pertama kali Ibu Mega mengetahui perubahan pada diri anaknya. Angga menyuruh ketiga pembantunya tinggal di loteng rumah mewahnya. Seakan-akan rumah itu miliknya, semua pembantunya dan ibunya menuruti semua kemauannya. Saat itu menjelang senja. Di rumah itu teman Angga hanya tersisa 2 teman laki-laki yaitu Afran dan Anton dan seorang perempuan yaitu Riani, mereka bertiga adalah sahabat Angga sejak SMP. Mereka bertiga juga mengerti tentang keadaan Angga dan tidak segan-segan menasehati Angga tentang kelakuannya, tetapi hanya dijawab santai “jangan khawartir”.  Sedangkan gank-nya sudah meninggalkan rumahnya semua. Saat itu pembantunya sedang sibuk memasak menyiapkan makanan untuk penghuni rumah itu, seorang pembantu sedang membersihkan taman belakang rumah dan seorang lagi sedang membersihkan kolam renang. Masih seperti sebelumnya dan tanpa ada sedikit pun perubahan, entah apa yang terngiang di dalam pikiran Angga, tetapi ia masih saja menjadikan ibunya layaknya pembantu. Lebih sering memanggil ibunya dengan sebutan bibi. Tetapi Ibu Mega sangatlah mengerti keadaan Angga hingga dirinya menerima semua perlakuan Angga dan menuruti semua kemauannya. 

Saat itu matahari mulai menenggelamkan diri. Ketiga temannya sudah pamit pulang beberapa menit yang lalu. Entahlah apa maksudnya Angga menyuruh ibunya membersihkan kolam renang yang jelas-jelas sore tadi baru saja dibersihkan oleh pembantunya. Ibunya hanya bisa beristighfar dan memenuhi keinginan Angga. Saat baru saja mulai membersihkan kolam, tak sengaja rasanya Ibu Mega terpeleset dan jatuh tercebur ke dalam kolam, seketika ia berteriak minta tolong. Mungkin karena rumahnya terlalu besar hingga penghuni rumah tak ada yang mendengarnya. Saat itu Angga sedang menuju kolam renang ingin melihat pekerjaan ibunya itu. Tanpa respon apapun Angga hanya mengambil handuk di kamar mandi dan melemparkannya ke arah ibunya yang mulai keluar dari dalam kolam renang dengan seluruh tubuh yang sudah basah kuyup. Tak dirasa meneteslah air mata Ibu Mega melihat respon anak semata wayangnya tanpa sepatah kata pun melemparkan handuk padanya. Hanya menatap ibunya tanpa ungkapan perasaan menyesal atau khawatir sedikitpun. Hanya mengucapkan “terima kasih sayang” kepada anaknya dan segera menuju kamar mandi. Angga pun hanya mengangguk dan terlihat bingung melihat ibunya menangis. Angga hanya berfikir bukankah tercebur di dalam kolam biasa saja dan tidak terlalu sakit, dibandingkan harus menahan sakit kehilangan sosok ayah yang sangat-sangat disayanginya. Lagi-lagi Angga membanding-bandingkan rasa sakitnya dengan apa yang ada di depan mata dan mengungkit-ungkit rasa sakitnya tentang kehilangan sosok ayahnya walaupun hanya dalam hati. 

Bukan hanya ibunya, ketiga pembantunya pun selalu menasehati Angga tentang perlakuannya terhadap ibunya. Angga hanya mengangguk mendengarkan nasehat yang diberikan para pembantunya dan lagi-lagi mengatakan “jangan khawatir” kepada ketiganya. Sebenarnya para pembantu itu sudah mulai geram menyaksikan perlakuan Angga terhadap ibu kandungnya sendiri, tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun hanya bisa memberikan nasehat kepada Ibu Mega untuk selalu sabar. Akhir-akhir ini Angga jarang pulang ke rumah. Mungkin merasa bosan karena tak ada seorang pun penghuni rumah yang bisa akrab dengannya dan memilih berkumpul dengan gank-nya menyaksikan balapan liar. Saat pagi hari Angga baru kembali ke rumah, tanpa kompromi ia selalu menyuruh ibunya untuk membersihkan kolam renang. Entah apa yang diinginkannya tetapi Angga selalu menyuruh ibunya untuk membersihkan kolam renang. Saat itu ibunya benar-benar dalam keadaan sakit, tetapi ia sembunyikan agar Angga tidak selalu merasa kecewa. Ibu Mega hanya mengungkapkan semua isi hatinya di dalam bukunya. Ia hanya ingin di sisa usianya menyaksikan anak kesayangannya bahagia. Ibu Mega menderita sakit jantung telah lama setelah kepergian suaminya tepatnya saat terjadi perubahan pada diri Angga. Hanya ketiga pembantunya yang mengetahuinya. Sementara Angga tak mengerti apapun tentang sakit ibunya. Saat ibunya mulai membersihkan kolam renang saat itulah Angga dijemput oleh gank-nya sekedar nongkrong. 

Ketiga pembantunya mulai berdatangan ke kolam renang untuk membantu Ibu Mega. Ibu Mega menolak untuk berhenti membersihkan kolam walaupun sudah dicegah oleh para pembantunya. Sudah seperti keluarga, mereka hanya bisa menangis menyaksikan Ibu Mega yang sedang sakit keras tetapi masih bekerja menuruti kemauan anaknya. Setelah selesai membersihkan kolam renang, tak seperti biasanya Ibu Mega tidak beristirahat tetapi mengambil bukunya dan menulis semua isi hatinya. Entahlah apa yang ia tulis tetapi semakin lama semakin banyak ia meneteskan air mata. Pembantunya hanya sesekali menengok ke kamar Ibu Mega karena Ibu Mega lah yang meminta pembantunya untuk tidak terlalu mengkhawatirkannya. Lama pembantunya tak menengoknya. Terlalu lelah Ibu Mega melayani tingkah laku anaknya, hanya ingin anaknya bahagia. Yang selalu terngiang dalam pikiran dan benaknya, bagaimana bila ia sudah tak lagi mampu melayani permintaan anaknya, bagaimana bila ia tak lagi mampu menahan rasa sakit yang menderanya hingga tak lagi mampu bertahan hidup, bagaimana dengan permintaan Angga? Siapa yang akan melayani permintaan anaknya? Lalu siapa yang akan direpotkan lagi oleh anaknya yang sama sekali belum menyadari apa arti hidup yang sebenarnya. Seribusatu pertanyaan dalam pikirannya tetapi tak ada satupun solusi bahkan jawaban dari pertanyaan semua itu. Hingga seorang pembantu yang kira-kira berusia 30 tahun terbelalak melihat Ibu Mega tergeletak di soffa dengan memeluk bukunya dan masih terlihat pipinya yang basah dengan air mata. Segeralah pembantu tersebut berteriak memanggil 2 pembantu yang lain. Setelah beberapa lama ditunggu ternyata Ibu Mega tak lekas membuka mata. Bingung. Itulah yang dirasakan ketiga pembantu tersebut. Bingung apa yang harus mereka lakukan pada Ibu Mega. Ingin mereka membawanya ke rumah sakit, tetapi mobil telah dibawa pergi oleh Angga. Ide mulai muncul diantara mereka. Seorang pembantu menjaga Ibu Mega di kamar. Seorang lagi berusaha menghubungi Angga, tetapi hasilnya nihil. Angga tak menjawab telephonenya. Dan seorang pembantu lainnya berlarian mencari taxi tetapi hanya angkot yang ia temukan dan segera membawanya ke rumah sakit.

Hari ini Angga hanya berkumpul beberapa jam bersama gank-nya, tak seperti biasanya yang menghabiskan waktu nongkrong sampai malam ataupun pagi karena teman-temannya memiliki acara masing-masing yang penting menurut pengetahuannya. Angga pun tinggal seorang diri. Tak lama hapenya berbunyi ia pergi ke tempat lain untuk bertemu Afran, Anton, dan Riani. Baru saja turun dari mobil mewahnya, sempat ia menengok ke sebelah kanan mobilnya. Sunyi dan sepi. Seorang laki-laki remaja sedang menangis. Angga merasa heran mengapa laki-laki menangis? Secengeng itu kah? Angga tertarik dan penasaran apa faktor penyebab sang laki-laki secengeng itu. Belum sempat Angga bertanya pada laki-laki itu, menengoklah ia pada sebuah buku yang sedang tergoreskan sebuah ballpoint oleh laki-laki itu. Dibacalah tulisan-tulisan itu oleh Angga dengan kepala agak miring karena memang ia tidak tepat di belakang laki-laki itu. 

GORESAN HATI
Mama, inginku memenuhi maumu terakhir kali. Tentang aku yang tak pernah lagi pedulikanmu. Mengapa? Secepat itukah kau pergi? Maafkanku tak mengerti maksud hatimu untukku. Hanya sesal, hanya sesal. Mungkin ku terlalu kejam padamu. Tuhan, maafkan aku. Kembalikan lagi mama ku. Inginku mengucap maaf padanya..Aku benci diriku . Yang egois, tak lagi aku pikirkan diriku. Hariku untukmu telah usai. Tak pernah terpikir olehku kesempatan bertemu denganmu tak datang berulang kali. Mengapa ku sejahat ini, setega ini, sekejam ini, TUHAN. MOHON MAAF....

Tak terasa Angga meneteskan air matanya yang terakhir kali menetes beberapa tahun lalu ketika ayahnya benar-benar telah pergi meninggalkannya. Angga melihat laki-laki tersebut sebegitu cengengnya, sesekali ia mengingat-ingat dan membayangkan perlakuannya terhadap ibu kandungnya. Segeralah ia menghapus air matanya dan meninggalkan laki-laki tersebut. Angga merasa tak tenang, feelingnya tak enak. Langkahnya dipercepat setelah melihat 3 temannya sedang menunggu dengan sapaan sedikit senyum. Baru saja ia duduk, Riani mengatakan maksud mereka ingin bertemu yaitu karena mereka bertiga peduli terhadap Angga dan mereka ingin Angga merubah perlakuannya terhadap orang tuanya yang tidak lain adalah Ibu Mega. Tak lain dan tak bukan, Angga selalu menjawab “jangan khawatir”. Hingga Afran menyodorkan selembar kertas pada Angga, segeralah Angga menerimanya dan melihat isi lembaran kertas tersebut. Terdiam. Membaca artikel yang isinya motivasi untuk mereka yang sama sekali tidak dekat dengan ibunya. Inti artikel tersebut adalah seorang anak yang harus dan wajib menghormati, menghargai, menuruti kemauan ibunya, dan sangat-sangat dilarang untuk menyakitinya walaupun hanya sesekali. Seketika hati Angga sangat-sangat berdebar, hingga tak terasa ia telah banyak meneteskan air mata. Semakin tak enak yang ia rasakan membayangkan perlakuan terhadap ibunya semenjak ia ditinggal pergi ayahnya. Mereka berempat pun saling berpelukan dan Angga menyatakan benar-benar menyesal melampiaskan emosinya kepada ibunya karena merasa sendirian setelah ayahnya meninggal. Setelah beberapa lama mereka saling menasehati dan mengingatkan untuk tidak durhaka kepada orang tua, mereka pergi dari tempat tersebut. Afran, Anton, dan Riani pergi menggunakan satu mobil. Sedangkan Angga pulang menggunakan mobilnya. Angga ingin segera meminta maaf tentang semua salahnya memperlakukan ibunya sejahat itu. 

Angga merasa bingung, takut, bahagia, semua ia rasakan. Merasa takut ibunya tak lagi bisa memaafkannya. Juga bahagia karena ia telah disadarkan oleh sahabatnya tentang arti ibu yang sebenarnya. Baru saja ia sampai tikungan dekat rumahnya, ia melihat ketiga pembantunya yang jarang sekali keluar rumah sedang berjalan menuju rumahnya dengan membawa satu tas milik ibunya. Tak sempat Angga memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya, terlihat mobil ambulans dan satu angkot terparkir di depan rumahnya. Dengan seketika Angga terkaget-kaget melihat banyak karangan bunga di dekat rumahnya. Belum sempat Angga menyimpulkan acara apa yang ibunya adakan, mungkinkah ibunya telah mengetahui bahwa ia telah sadar dan ingin meminta maaf. Semua terfikirkan olehnya. Segeralah Angga menengok kembali karangan-karangan bunga tadi dan seketika ia terjatuh lemas membaca tulisan “TURUT BERDUKA CITA”....”IBU MEGA CAYATI”. Sirna sudah harapannya untuk meminta maaf kepada ibunya dan ingin segera membahagiakannya. Tak lagi memikirkan secengeng inikah secengeng itukah, Angga tak lagi menahan rasa marahnya kepada diri sendiri dan benar-benar menyesal. Tak lagi mempedulikan siapakah yang ada di dekatnya saat itu. Yang ia fikirkan adalah ibunya, ibunya, dan ibunya. Kembali terfikir tulisan laki-laki yang ia baca tadi di dekat mobilnya parkir, inginkan ibunya kembali, sejahat inikah diriku, setega ini, mengapa?? Angga masih menangis tepat di depan karangan-karangan bunga.

Entah belum percaya atau merasa sedang bermimpi. Angga tiba-tiba bangkit  meninggalkan karangan bunga tersebut dan berlari ke arah kerumunan orang tepat di depan pintu rumahnya sambil berteriak meminta maaf pada ibunya. Mereka semua memberi jalan untuk Angga berlari. Seketika Angga berteriak minta maaf pada ibunya yang telah terbujur kaku, namun tak ada jawaban apapun dari ibunya. Beberapa kali Angga menciumi ibunya dan berusaha membangunkannya. Tetapi nihil. Barulah Angga benar-benar percaya ia telah kehilangan orang yang ia sayangi untuk kedua kalinya. Hanya meratapi nasibnya dan tak lagi jelas apa yang ada dalam pikirannya. Benar belum ikhlas tentang kepergian ayahnya, kini harus lebih tak rela kehilangan ibunya yang telah lama ia kecewakan bahkan ia sakiti. Menyesal dan menyesal yang kini Angga rasakan. Beberapa kali ia mencium jasad ibunya. Setelah dimandikan dan dishalatkan, jenazah ibunya segera dimakamkan di TPU setempat. Angga hanya bisa menyaksikan orang-orang membawa ibunya menggunakan keranda. Hanya bersama ketiga pembantunya ia menuju TPU. Segera ia mendoakan ibunya yang ia yakini akan masuk Syurga atas semua pengorbanan ibunya untuk anaknya. Semua orang telah meninggalkan TPU tersebut, tetapi Angga belum menuruti ajakan para pembantunya untuk segera pulang dan masih menangisi gundukan tanah makam ibunya. Seorang pembantu menyodorkan satu buku yang jelasnya itu milik Ibu Mega untuk diberikan kepada Angga. Hanya ia terima buku tersebut dan sempatkan ia bertanya pada ketiga pembantunya mengapa terparkir angkot di depan rumahnya. Mendengar pertanyaan Angga salah seorang dari mereka menjelaskan kronologi yang terjadi pada Ibu Mega. Ia menjelaskan bahwa pagi itu Ibu Mega membersihkan kolam renang dalam keadaan benar-benar sakit tetapi Ibu Mega menyembunyikannya. Setelah itu Ibu Mega sempat menggoreskan tinta ballpointnya ke buku pribadinya dengan cucuran air mata. Entah apa yang terjadi Ibu Mega pingsan. Karena mobil dibawa pergi oleh Angga, mereka bertiga terpaksa mencari kendaraan dan hanya angkot yang ditemukan. Mereka membawa Ibu Mega ke rumah sakit tetapi nyawanya tak tertolong lagi karena sakit jantungnya yang sudah terlalu parah. Dengan berteriak dan menangis Angga bertanya kepada pembantunya mengapa dia tak mengetahui sakit ibunya setelah beberapa tahun. Dengan menangis pembantunya menjawab bahwa sekalipun Angga mengetahui sakit ibunya, mungkin hanya akan mengatakan “jangan khawatir”. Seketika itu mereka berempat menangis di atas pusara Ibu Mega. Semakin menaikkan emosi dan penyesalan Angga, hingga ia benar-benar menyuruh pembantunya untuk pulang. Pembantunya pun dengan tak tega meninggalkan Angga pulang.

Malam mulai menggantikan mendungnya siang. Angga masih menangisi pusara ibunya, sesekali para pembantunya membawakannya makanan tetapi makanan-makanan itu hanya tersusun berderet di dekat Angga menangis. Melihat buku yang tadi diberikan oleh pembantunya. Angga membuka lembaran satu-persatu. Terfokus pada halaman terakhir Angga membuka dan segera membacanya.

Sayang maaf ibu tidak lagi bisa menuruti semua maumu, tolong sadarlah ini hidupmu jadilah orang yang berguna bagi banyak orang. Ibu tak mau Angga terlalu egois. Untuk keluarga kita, ibu bahagia bersama ayah dan kamu nak. Kita manusia selalu punya salah. Ibu minta maaf selama ini mungkin kamu tak puas tentang apa yang ibu berikan. Ibu bahagia di sisa hidup ibu, ibu masih bisa menuruti kemauanmu untuk membersihkan kolam yang dulu adalah tempat kamu dan ayahmu menikmati hari-hari yang indah. Ibu juga tak mau memarahimu tentang perlakuanmu. Ibu mengerti keadaanmu kehilangan ayah. Ibu sayang kamu Angga. Do’akan ibu dan ayahmu di alam sana. Maaf belum sempat membuatmu bahagia.
                                                            ..Ibu sayang Rangga Ditya Mahesa..

Saat itulah Angga benar-benar menyesali perbuatannya selama ini, lebih dari menyesali seumur hidup. Angga seperti terbangun dari mimpi-mimpi manisnya yang selalu egois memikirkan kepergian ayahnya tanpa menyadari bahwa ibunya juga merasa sangat kehilangan sosok ayah dalam keluarganya. Tanpa ada perlakuan lain untuk dirinya, Angga hanya menghabiskan waktunya menyesali perbuatannya dan hanya bisa menangis dan menangis di atas pusara sang ibu sembari menanti dimaafkan oleh ibunya. Setiap pagi, siang, malam Angga selalu menemani ibunya di makam tersebut. Entah panas ataupun hujan Angga hanya bisa menangis. Hingga setelah 3 malam Angga menemani ibunya tanpa mengonsumsi apapun. Angga pun meninggal di atas pusara sang ibu sambil memeluk buku yang selalu ia baca tiap malam yang tak lain adalah buku pribadi milik ibunya.


^SELESAI^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar