PENANTIAN DI ATAS
PUSARA
Angga merupakan lelaki pendiam yang
bisa dikatakan baru menginjak usia dewasa dan meninggalkan masa-masa remaja
bersama teman-teman sebayanya. Sejak ayahnya meninggal karena kecelakaan mobil
Angga lebih sering menghabiskan waktu
bersama ganknya sekedar
nongkrong di kafe atau menonton balapan liar. Ketika ayahnya masih hidup, ia
sering menghabiskan waktu di rumah bersama ayahnya. Mungkin Angga merasa sangat
kehilangan sosok ayah yang selama ini selalu ada bersamanya, dan kini Angga
sering mengabaikan ibunya. Untuk dulu, mungkin Angga bisa dikatakan ‘manja’. Sangatlah berbeda dengan
sekarang yang tak lagi mempedulikan ibunya bahkan lebih memilih foya-foya
menghabiskan uangnya untuk taruhan balapan mobil liar. Mungkin dia juga merasa,
dengan keluarganya yang memiliki banyak uang bisa membuatnya bangun dari
keterpurukan dan mengembalikan keadaan hidupnya tanpa sosok ayah yang sangatlah
dekat dengannya.
Ibu mana yang membiarkan anaknya
melakukan sesuatu semaunya sendiri tanpa ada pemikiran panjang. Tentu jarang
orang tua yang seperti itu. Begitu pun ibunya Angga, ‘Ibu Mega’ biasa ia disapa
oleh tetangga-tetangganya. Ibu Mega masih berusia 55 tahun. Ibu Mega sangatlah
mengerti tentang sosok Angga yang dulu, yang sangatlah berbeda dengan saat-saat
sekarang. Ibu Mega pun mengerti tentang perasaan Angga yang dulu pendiam,
memendam semua masalahnya sendiri, kini harus lebih menahan emosi dan
melampiaskan emosinya dengan berfoya-foya. Ia hanya bisa menasehati anaknya
yang tidak lagi banyak bicara ketika di dalam rumah, tetapi tak banyak
perubahan yang terjadi pada diri Angga. Hingga suatu ketika Angga mengajak
teman-teman satu gank-nya main dan
menginap ke rumah mewahnya. Tanpa disangka-sangka Angga menjadikan ibunya
sebagai pembantu selama teman-temannya di rumahnya. itulah saat pertama kali
Ibu Mega mengetahui perubahan pada diri anaknya. Angga menyuruh ketiga
pembantunya tinggal di loteng rumah mewahnya. Seakan-akan rumah itu miliknya,
semua pembantunya dan ibunya menuruti semua kemauannya. Saat itu menjelang
senja. Di rumah itu teman Angga hanya tersisa 2 teman laki-laki yaitu Afran dan
Anton dan seorang perempuan yaitu Riani, mereka bertiga adalah sahabat Angga
sejak SMP. Mereka bertiga juga mengerti tentang keadaan Angga dan tidak
segan-segan menasehati Angga tentang kelakuannya, tetapi hanya dijawab santai
“jangan khawartir”. Sedangkan gank-nya sudah meninggalkan rumahnya
semua. Saat itu pembantunya sedang sibuk memasak menyiapkan makanan untuk
penghuni rumah itu, seorang pembantu sedang membersihkan taman belakang rumah
dan seorang lagi sedang membersihkan kolam renang. Masih seperti sebelumnya dan
tanpa ada sedikit pun perubahan, entah apa yang terngiang di dalam pikiran
Angga, tetapi ia masih saja menjadikan ibunya layaknya pembantu. Lebih sering
memanggil ibunya dengan sebutan bibi. Tetapi Ibu Mega sangatlah mengerti
keadaan Angga hingga dirinya menerima semua perlakuan Angga dan menuruti semua kemauannya.
Saat
itu matahari mulai menenggelamkan diri. Ketiga temannya sudah pamit pulang
beberapa menit yang lalu. Entahlah apa maksudnya Angga menyuruh ibunya
membersihkan kolam renang yang jelas-jelas sore tadi baru saja dibersihkan oleh
pembantunya. Ibunya hanya bisa beristighfar dan memenuhi keinginan Angga. Saat
baru saja mulai membersihkan kolam, tak sengaja rasanya Ibu Mega terpeleset dan
jatuh tercebur ke dalam kolam, seketika ia berteriak minta tolong. Mungkin
karena rumahnya terlalu besar hingga penghuni rumah tak ada yang mendengarnya.
Saat itu Angga sedang menuju kolam renang ingin melihat pekerjaan ibunya itu.
Tanpa respon apapun Angga hanya mengambil handuk di kamar mandi dan
melemparkannya ke arah ibunya yang mulai keluar dari dalam kolam renang dengan
seluruh tubuh yang sudah basah kuyup. Tak dirasa meneteslah air mata Ibu Mega
melihat respon anak semata wayangnya tanpa sepatah kata pun melemparkan handuk
padanya. Hanya menatap ibunya tanpa ungkapan perasaan menyesal atau khawatir
sedikitpun. Hanya mengucapkan “terima kasih sayang” kepada anaknya dan segera
menuju kamar mandi. Angga pun hanya mengangguk dan terlihat bingung melihat
ibunya menangis. Angga hanya berfikir bukankah tercebur di dalam kolam biasa
saja dan tidak terlalu sakit, dibandingkan harus menahan sakit kehilangan sosok
ayah yang sangat-sangat disayanginya. Lagi-lagi Angga membanding-bandingkan
rasa sakitnya dengan apa yang ada di depan mata dan mengungkit-ungkit rasa
sakitnya tentang kehilangan sosok ayahnya walaupun hanya dalam hati.
Bukan
hanya ibunya, ketiga pembantunya pun selalu menasehati Angga tentang
perlakuannya terhadap ibunya. Angga hanya mengangguk mendengarkan nasehat yang
diberikan para pembantunya dan lagi-lagi mengatakan “jangan khawatir” kepada
ketiganya. Sebenarnya para pembantu itu sudah mulai geram menyaksikan perlakuan
Angga terhadap ibu kandungnya sendiri, tetapi mereka tidak dapat berbuat apapun
hanya bisa memberikan nasehat kepada Ibu Mega untuk selalu sabar. Akhir-akhir
ini Angga jarang pulang ke rumah. Mungkin merasa bosan karena tak ada seorang
pun penghuni rumah yang bisa akrab dengannya dan memilih berkumpul dengan gank-nya menyaksikan balapan liar. Saat
pagi hari Angga baru kembali ke rumah, tanpa kompromi ia selalu menyuruh ibunya
untuk membersihkan kolam renang. Entah apa yang diinginkannya tetapi Angga
selalu menyuruh ibunya untuk membersihkan kolam renang. Saat itu ibunya
benar-benar dalam keadaan sakit, tetapi ia sembunyikan agar Angga tidak selalu
merasa kecewa. Ibu Mega hanya mengungkapkan semua isi hatinya di dalam bukunya.
Ia hanya ingin di sisa usianya menyaksikan anak kesayangannya bahagia. Ibu Mega
menderita sakit jantung telah lama setelah kepergian suaminya tepatnya saat
terjadi perubahan pada diri Angga. Hanya ketiga pembantunya yang mengetahuinya.
Sementara Angga tak mengerti apapun tentang sakit ibunya. Saat ibunya mulai
membersihkan kolam renang saat itulah Angga dijemput oleh gank-nya sekedar nongkrong.
Ketiga
pembantunya mulai berdatangan ke kolam renang untuk membantu Ibu Mega. Ibu Mega
menolak untuk berhenti membersihkan kolam walaupun sudah dicegah oleh para
pembantunya. Sudah seperti keluarga, mereka hanya bisa menangis menyaksikan Ibu
Mega yang sedang sakit keras tetapi masih bekerja menuruti kemauan anaknya.
Setelah selesai membersihkan kolam renang, tak seperti biasanya Ibu Mega tidak
beristirahat tetapi mengambil bukunya dan menulis semua isi hatinya. Entahlah
apa yang ia tulis tetapi semakin lama semakin banyak ia meneteskan air mata.
Pembantunya hanya sesekali menengok ke kamar Ibu Mega karena Ibu Mega lah yang
meminta pembantunya untuk tidak terlalu mengkhawatirkannya. Lama pembantunya
tak menengoknya. Terlalu lelah Ibu Mega melayani tingkah laku anaknya, hanya
ingin anaknya bahagia. Yang selalu terngiang dalam pikiran dan benaknya,
bagaimana bila ia sudah tak lagi mampu melayani permintaan anaknya, bagaimana
bila ia tak lagi mampu menahan rasa sakit yang menderanya hingga tak lagi mampu
bertahan hidup, bagaimana dengan permintaan Angga? Siapa yang akan melayani
permintaan anaknya? Lalu siapa yang akan direpotkan lagi oleh anaknya yang sama
sekali belum menyadari apa arti hidup yang sebenarnya. Seribusatu pertanyaan dalam pikirannya tetapi tak ada satupun
solusi bahkan jawaban dari pertanyaan semua itu. Hingga seorang pembantu yang
kira-kira berusia 30 tahun terbelalak melihat Ibu Mega tergeletak di soffa
dengan memeluk bukunya dan masih terlihat pipinya yang basah dengan air mata.
Segeralah pembantu tersebut berteriak memanggil 2 pembantu yang lain. Setelah
beberapa lama ditunggu ternyata Ibu Mega tak lekas membuka mata. Bingung.
Itulah yang dirasakan ketiga pembantu tersebut. Bingung apa yang harus mereka
lakukan pada Ibu Mega. Ingin mereka membawanya ke rumah sakit, tetapi mobil
telah dibawa pergi oleh Angga. Ide mulai muncul diantara mereka. Seorang
pembantu menjaga Ibu Mega di kamar. Seorang lagi berusaha menghubungi Angga,
tetapi hasilnya nihil. Angga tak menjawab telephonenya.
Dan seorang pembantu lainnya berlarian mencari taxi tetapi hanya angkot yang ia temukan dan segera membawanya ke
rumah sakit.
Hari
ini Angga hanya berkumpul beberapa jam bersama gank-nya, tak seperti biasanya yang menghabiskan waktu nongkrong
sampai malam ataupun pagi karena teman-temannya memiliki acara masing-masing
yang penting menurut pengetahuannya. Angga pun tinggal seorang diri. Tak lama hapenya berbunyi ia pergi ke tempat lain
untuk bertemu Afran, Anton, dan Riani. Baru saja turun dari mobil mewahnya,
sempat ia menengok ke sebelah kanan mobilnya. Sunyi dan sepi. Seorang laki-laki
remaja sedang menangis. Angga merasa heran mengapa laki-laki menangis?
Secengeng itu kah? Angga tertarik dan penasaran apa faktor penyebab sang
laki-laki secengeng itu. Belum sempat Angga bertanya pada laki-laki itu,
menengoklah ia pada sebuah buku yang sedang tergoreskan sebuah ballpoint oleh laki-laki itu. Dibacalah
tulisan-tulisan itu oleh Angga dengan kepala agak miring karena memang ia tidak
tepat di belakang laki-laki itu.
GORESAN HATI
Mama, inginku memenuhi maumu terakhir kali. Tentang
aku yang tak pernah lagi pedulikanmu. Mengapa? Secepat itukah kau pergi?
Maafkanku tak mengerti maksud hatimu untukku. Hanya sesal, hanya sesal. Mungkin
ku terlalu kejam padamu. Tuhan, maafkan aku. Kembalikan lagi mama ku. Inginku
mengucap maaf padanya..Aku benci diriku . Yang egois, tak lagi aku pikirkan
diriku. Hariku untukmu telah usai. Tak pernah terpikir olehku kesempatan bertemu
denganmu tak datang berulang kali. Mengapa ku sejahat ini, setega ini, sekejam
ini, TUHAN. MOHON MAAF....
Tak
terasa Angga meneteskan air matanya yang terakhir kali menetes beberapa tahun
lalu ketika ayahnya benar-benar telah pergi meninggalkannya. Angga melihat
laki-laki tersebut sebegitu cengengnya, sesekali ia mengingat-ingat dan
membayangkan perlakuannya terhadap ibu kandungnya. Segeralah ia menghapus air
matanya dan meninggalkan laki-laki tersebut. Angga merasa tak tenang, feelingnya tak enak. Langkahnya
dipercepat setelah melihat 3 temannya sedang menunggu dengan sapaan sedikit
senyum. Baru saja ia duduk, Riani mengatakan maksud mereka ingin bertemu yaitu
karena mereka bertiga peduli terhadap Angga dan mereka ingin Angga merubah
perlakuannya terhadap orang tuanya yang tidak lain adalah Ibu Mega. Tak lain
dan tak bukan, Angga selalu menjawab “jangan khawatir”. Hingga Afran
menyodorkan selembar kertas pada Angga, segeralah Angga menerimanya dan melihat
isi lembaran kertas tersebut. Terdiam. Membaca artikel yang isinya motivasi
untuk mereka yang sama sekali tidak dekat dengan ibunya. Inti artikel tersebut
adalah seorang anak yang harus dan wajib menghormati, menghargai, menuruti
kemauan ibunya, dan sangat-sangat dilarang untuk menyakitinya walaupun hanya
sesekali. Seketika hati Angga sangat-sangat berdebar, hingga tak terasa ia
telah banyak meneteskan air mata. Semakin tak enak yang ia rasakan membayangkan
perlakuan terhadap ibunya semenjak ia ditinggal pergi ayahnya. Mereka berempat
pun saling berpelukan dan Angga menyatakan benar-benar menyesal melampiaskan
emosinya kepada ibunya karena merasa sendirian setelah ayahnya meninggal. Setelah
beberapa lama mereka saling menasehati dan mengingatkan untuk tidak durhaka
kepada orang tua, mereka pergi dari tempat tersebut. Afran, Anton, dan Riani
pergi menggunakan satu mobil. Sedangkan Angga pulang menggunakan mobilnya.
Angga ingin segera meminta maaf tentang semua salahnya memperlakukan ibunya
sejahat itu.
Angga
merasa bingung, takut, bahagia, semua ia rasakan. Merasa takut ibunya tak lagi
bisa memaafkannya. Juga bahagia karena ia telah disadarkan oleh sahabatnya
tentang arti ibu yang sebenarnya. Baru saja ia sampai tikungan dekat rumahnya,
ia melihat ketiga pembantunya yang jarang sekali keluar rumah sedang berjalan
menuju rumahnya dengan membawa satu tas milik ibunya. Tak sempat Angga memarkirkan
mobilnya di garasi rumahnya, terlihat mobil ambulans dan satu angkot terparkir
di depan rumahnya. Dengan seketika Angga terkaget-kaget melihat banyak karangan
bunga di dekat rumahnya. Belum sempat Angga menyimpulkan acara apa yang ibunya
adakan, mungkinkah ibunya telah mengetahui bahwa ia telah sadar dan ingin
meminta maaf. Semua terfikirkan olehnya. Segeralah Angga menengok kembali
karangan-karangan bunga tadi dan seketika ia terjatuh lemas membaca tulisan
“TURUT BERDUKA CITA”....”IBU MEGA CAYATI”. Sirna sudah harapannya untuk meminta
maaf kepada ibunya dan ingin segera membahagiakannya. Tak lagi memikirkan
secengeng inikah secengeng itukah, Angga tak lagi menahan rasa marahnya kepada
diri sendiri dan benar-benar menyesal. Tak lagi mempedulikan siapakah yang ada
di dekatnya saat itu. Yang ia fikirkan adalah ibunya, ibunya, dan ibunya.
Kembali terfikir tulisan laki-laki yang ia baca tadi di dekat mobilnya parkir,
inginkan ibunya kembali, sejahat inikah diriku, setega ini, mengapa?? Angga
masih menangis tepat di depan karangan-karangan bunga.
Entah
belum percaya atau merasa sedang bermimpi. Angga tiba-tiba bangkit meninggalkan karangan bunga tersebut dan
berlari ke arah kerumunan orang tepat di depan pintu rumahnya sambil berteriak
meminta maaf pada ibunya. Mereka semua memberi jalan untuk Angga berlari.
Seketika Angga berteriak minta maaf pada ibunya yang telah terbujur kaku, namun
tak ada jawaban apapun dari ibunya. Beberapa kali Angga menciumi ibunya dan
berusaha membangunkannya. Tetapi nihil.
Barulah Angga benar-benar percaya ia telah kehilangan orang yang ia sayangi
untuk kedua kalinya. Hanya meratapi nasibnya dan tak lagi jelas apa yang ada
dalam pikirannya. Benar belum ikhlas tentang kepergian ayahnya, kini harus
lebih tak rela kehilangan ibunya yang telah lama ia kecewakan bahkan ia sakiti.
Menyesal dan menyesal yang kini Angga rasakan. Beberapa kali ia mencium jasad
ibunya. Setelah dimandikan dan dishalatkan, jenazah ibunya segera dimakamkan di
TPU setempat. Angga hanya bisa menyaksikan orang-orang membawa ibunya
menggunakan keranda. Hanya bersama ketiga pembantunya ia menuju TPU. Segera ia
mendoakan ibunya yang ia yakini akan masuk Syurga atas semua pengorbanan ibunya
untuk anaknya. Semua orang telah meninggalkan TPU tersebut, tetapi Angga belum
menuruti ajakan para pembantunya untuk segera pulang dan masih menangisi
gundukan tanah makam ibunya. Seorang pembantu menyodorkan satu buku yang
jelasnya itu milik Ibu Mega untuk diberikan kepada Angga. Hanya ia terima buku
tersebut dan sempatkan ia bertanya pada ketiga pembantunya mengapa terparkir
angkot di depan rumahnya. Mendengar pertanyaan Angga salah seorang dari mereka
menjelaskan kronologi yang terjadi pada Ibu Mega. Ia menjelaskan bahwa pagi itu
Ibu Mega membersihkan kolam renang dalam keadaan benar-benar sakit tetapi Ibu
Mega menyembunyikannya. Setelah itu Ibu Mega sempat menggoreskan tinta
ballpointnya ke buku pribadinya dengan cucuran air mata. Entah apa yang terjadi
Ibu Mega pingsan. Karena mobil dibawa pergi oleh Angga, mereka bertiga terpaksa
mencari kendaraan dan hanya angkot yang ditemukan. Mereka membawa Ibu Mega ke
rumah sakit tetapi nyawanya tak tertolong lagi karena sakit jantungnya yang
sudah terlalu parah. Dengan berteriak dan menangis Angga bertanya kepada
pembantunya mengapa dia tak mengetahui sakit ibunya setelah beberapa tahun.
Dengan menangis pembantunya menjawab bahwa sekalipun Angga mengetahui sakit
ibunya, mungkin hanya akan mengatakan “jangan khawatir”. Seketika itu mereka
berempat menangis di atas pusara Ibu Mega. Semakin menaikkan emosi dan
penyesalan Angga, hingga ia benar-benar menyuruh pembantunya untuk pulang.
Pembantunya pun dengan tak tega meninggalkan Angga pulang.
Malam
mulai menggantikan mendungnya siang. Angga masih menangisi pusara ibunya,
sesekali para pembantunya membawakannya makanan tetapi makanan-makanan itu
hanya tersusun berderet di dekat Angga menangis. Melihat buku yang tadi
diberikan oleh pembantunya. Angga membuka lembaran satu-persatu. Terfokus pada
halaman terakhir Angga membuka dan segera membacanya.
Sayang maaf ibu tidak
lagi bisa menuruti semua maumu, tolong sadarlah ini hidupmu jadilah orang yang
berguna bagi banyak orang. Ibu tak mau Angga terlalu egois. Untuk keluarga
kita, ibu bahagia bersama ayah dan kamu nak. Kita manusia selalu punya salah.
Ibu minta maaf selama ini mungkin kamu tak puas tentang apa yang ibu berikan.
Ibu bahagia di sisa hidup ibu, ibu masih bisa menuruti kemauanmu untuk
membersihkan kolam yang dulu adalah tempat kamu dan ayahmu menikmati hari-hari yang
indah. Ibu juga tak mau memarahimu tentang perlakuanmu. Ibu mengerti keadaanmu
kehilangan ayah. Ibu sayang kamu Angga. Do’akan ibu dan ayahmu di alam sana.
Maaf belum sempat membuatmu bahagia.
..Ibu
sayang Rangga Ditya Mahesa..
Saat
itulah Angga benar-benar menyesali perbuatannya selama ini, lebih dari
menyesali seumur hidup. Angga seperti terbangun dari mimpi-mimpi manisnya yang
selalu egois memikirkan kepergian ayahnya tanpa menyadari bahwa ibunya juga
merasa sangat kehilangan sosok ayah dalam keluarganya. Tanpa ada perlakuan lain
untuk dirinya, Angga hanya menghabiskan waktunya menyesali perbuatannya dan
hanya bisa menangis dan menangis di atas pusara sang ibu sembari menanti
dimaafkan oleh ibunya. Setiap pagi, siang, malam Angga selalu menemani ibunya
di makam tersebut. Entah panas ataupun hujan Angga hanya bisa menangis. Hingga
setelah 3 malam Angga menemani ibunya tanpa mengonsumsi apapun. Angga pun
meninggal di atas pusara sang ibu sambil memeluk buku yang selalu ia baca tiap
malam yang tak lain adalah buku pribadi milik ibunya.
^SELESAI^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar